Jumat, 24 Juni 2016

24 Juni 1949, Pasukan Belanda mulai mengevakuasi Yogyakarta pasca perjanjian Roem Roijen.


Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II “Operatie Kraai”, sebagai bentuk pelanggaran yang kedua kalinya terhadap perjanjian dengan Indonesia. Tapi 24 Juni 1949, pemerintahan Indonesia di Yogyakarta bisa kembali dipulihkan. Sejak Belanda menginvasi Yogyakarta yang kala itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia (RI), TNI beserta elemen rakyat terus berusaha membuktikan pada dunia bahwa kekuatan militer Indonesia masih ada. Klimaksnya pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Dunia internasional dan tentunya Amerika Serikat, terus mendorong perselisihan dua negara diselesaikan lewat perundingan.


Kesepakatan Roem-Roijen pun tercipta dan sebagai kelanjutannya, terjadi perundingan tiga pihak antara Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Majelis Konsultatif Federal, Indonesia dan Belanda yang diawasi perwakilan PBB, Thomas Kingston Critchley.
Perundingan itu menghasilkan yakni pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta yang harus dilaksanakan pada 24 Juni 1949 (hingga diresmikan 1 Juli 1949), RI menghentikan perang gerilya dan Konferensi Meja Bundar untuk digelar di Den Haag, Belanda.
Di sisi lain dengan adanya kesepakatan itu, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat pimpinan Syafrudin Prawiranegara pun, diserahkan lagi ke Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Menteri Pertahanan ditugaskan ketua Koordinator Keamanan selama penarikan mundur tentara Belanda.

Suasana seantero Yogyakarta, terutama di wilayah kota begitu lengang ketika derap tentara Belanda beradu dengan deru-deru kendaraan baja mereka mengarah ke utara meninggalkan Yogyakarta. Pasalnya rakyat Yogyakarta sesuai amanat Sri Sultan HB IX, dihimbau untuk tidak keluar rumah atau membanjiri jalan hanya untuk melihat kesibukan tentara Belanda yang pergi. Amanat tersebut berbunyi, “Hak milik tiap orang dijamin, keselamatan raga dan jiwanya dilindungi, bahkan barang siapa yang hendak pergi dari Yogyakarta setelah pemulihan, akan diberi kesempatan semudah-mudahnya. Diperintahkan kepada segenap penduduk agar tinggal di rumah selama 24 jam pada hari terakhir penarikan mundur tentara pendudukan Belanda.

29 Juni, sisa-sisa tentara Belanda sudah tiada, kehidupan rakyat seolah terlepas dari belenggu dan tak lama kemudian, TNI mulai memasuki Yogyakarta dari arah selatan yang di kemudian hari dikenal sebagai peristiwa “Yogya Kembali”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar